Rabu, 21 Januari 2009

ETIKA ISLAM

ETIKA BISNIS NABI MUHAMMAD SAW

Etika bisnis memegang peranan penting dalam membentuk pola dan sistem transaksi bisnis, yang dijalankan seseorang. Sisi yang cukup menonjol dalam meletakkan etika bisnis Nabi Muhammad SAW adalah nilai spiritual, humanisme, kejujuran keseimbangan, dan semangatnya untuk memuaskan mitra bisnisnya. Nilai-nilai di atas telah melandasi tingkah laku dan sangat melekat serta menjadi ciri kepribadian sebagai Manajer profesional. Implementasi bisnis yang ia lakukan berporos pada nilai-nilai tauhid yang diyakininya. Secara prinsip, ia telah menjadikan empat pilar berikut ini sebagai dasar transaksi ekonominya.

1. Tauhid

Sistem etika Islam, yang meliputi kehidupan manusia di bumi secara keseluruhan, selalu tercermin dalam konsep tauhid yang dalam pengertian absolut, hanya berhubungan dengan Tuhan. Umat manusia tak lain adalah wadah kebenaran, dan harus memantulkan cahaya kemuliaannya dalam semua manifestasi duniawi:

Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al Quran itu adalah benar. Tidakkah cukup bahwa Sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?. (Fushshilat: 53)

Tauhid, pada tingkat absolut menempatkan makhluk untuk melakukan penyerahan tanpa syarat pada kehendakNya:

Kamu tidak menyembah yang selain Allah kecuali Hanya (menyembah) nama-nama yang kamu dan nenek moyangmu membuat-buatnya. Allah tidak menurunkan suatu keteranganpun tentang nama-nama itu. Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. dia Telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.". (Yusuf: 40)

Dalam pengertian yang lebih dalam, konsep tauhid merupakan dimensi vertikal Islam. Tauhid memadukan di sepanjang garis vertikal segi politik, ekonomi, sosial, dan agama dari kehidupan manusia menjadi suatu kebulatan yang homogen dan konsisten. Tauhid rububiyyah merupakan keyakinan bahwa semua yang ada dialami ini adalah memiliki dan dikuasai oleh Allah SWT. Tauhid uluhiayyah menyatakan aturan darinya dalam menjalankan kehidupan. Kedua diterapkan Nabi Muhammad SAW dalam kegiatan ekonomi, bahwa setiap harta (aset) dalam transaksi bisnis hakekatnya milik Allah swt. Pelaku ekonomi (manusia) hanya mendapatkan amanah mengelola (istikhlaf), dan oleh karenanya seluruh aset dan anasir transaksi harus dikelola sesuai dengan ketentuan pemilik yang hakiki, yaitu Allah swt. Kepeloporan Nabi Muhammad saw. Dalam meninggalkan praktik riba (usury-interest), transaksi fiktif (gharar), perjudian dan spekulasi (Maysir) dan komoditi haram adalah wujud dari keyakinan tauhid ini.

2. Keseimbangan (Adil)

Pandangan Islam mengenai kehidupan berasal dari suatu persepsi Ilahi mengenai keharmonisan alam.

Kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka Lihatlah berulang-ulang, Adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang? Kemudian pandanglah sekali lagi niscaya penglihatanmu akan kembali kepadamu dengan tidak menemukan sesuatu cacat dan penglihatanmu itupun dalam keadaan payah. (Al Mulk: 3-4)

Sesungguhnya kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran. (QS Al-Qamar : 49).

Keseimbangan atau keharmonisan sosial, tak bersifat statis dalam pengertian suatu dalih untuk status quo, melainkan suatu sifat dinamis yang mengerahkan kekuatan hebat menentang segenap ketidakadilan. Keseimbangan juga harus terwujud dalam kehidupan ekonomi. Sungguh, dalam segala jenis bisnis yang dijalaninya, Nabi Muhammad Saw, menjadikan nilai adil sebagai standard utama. Kedudukan dan tanggung jawab para pelaku bisa ia bangun melalui prinsip “akad yang saling setuju”. Ia meninggalkan tradisi riba dan memasyarakatkan kontrak mudharobah (100% project financing) atau kontrak musyarakah (equity participation), karena sistem “Profit and lost sharing system”.

3. Kehendak Bebas

Salah satu kontribusi Islam yang paling orisinil dalam filsafat sosial adalah konsep mengenai manusia ‘bebas’. Hanya Tuhanlah yang mutlak bebas, tetapi dalam batas-batas skema penciptaan-Nya manusia juga secara bebas. Benar, Kemahatahuan Tuhan meliputi segala kegiatan manusia selama ia tinggal di bumi, tetap kebebasan manusia juga diberikan oleh Tuhan.

Prinsip kebebasan ini pun mengalir dalam ekonomi Islam Prinsip transaksi ekonomi yang menyatakan asas hukum ekonomi adalah halal, seolah mempersilahkan para pelakunya melaksanakan kegiatan ekonomi sesuai yang diinginkan, menumpahkan kreativitas, modifikasi dan ekspansi seluas sebesar-besarnya, bahkan transaksi bisnis dapat dilakukan dengan siapa pun secara lintas agama.

Dalam kaitan ini, kita memperoleh pelajaran yang begitu banyak dari Nabi Muhammad Saw, termasuk skema kerja sama bisnis yang dieksplorasi Nabi Muhammad Saw. Di luar praktek ribawi yang dianut masyarakat masa itu. Model-model usaha tersebut antara lain, mudharabah, musyrakah, murabahah, ‘ijarah, wakalah, salam, istishna, dan lain-lain.

4. Pertanggungjawaban

Selanjutnya, Nabi Muhammad Saw. mewariskan pula pilar tanggung jawab dalam kerangka dasar etika bisnisnya. Kebebasan harus diimbangi dengan pertanggungjawaban manusia, setelah menetukan daya pilih antara yang baik dan buruk, harus menjalani konsekuensi logisnya:

Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya (QS AI-Muddatstsir:38).

Karena keuniver­salan sifat al-'adl, maka setiap individu harus mempertanggung­jawabkan tindakannya. Tak seorang pun dapat lolos dari konse­kuensi perbuatan jahatnya hanya dengan mencari kambing hitam. Manusia kan mendapatkan sesuai dengan apa yang diusahakannya.

Dan tidaklah seseorang berbuat dosa melainkan mudaratnya kembali kepada dirinya sendiri, dan seorang yang berdosa tak akan memikul dosa orang lain... (QS Al-An'am :164).

Bukan itu saja, manusia juga dimintai pertanggungjawaban atas kejahatan yang berlangsung di sekitarnya. Karena itu, manu­sia telah diperingatkan lebih dahulu.

Dan peliharalah dirimu dari siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antaramu... (QS Al-Anfal :25).

Pertanggungjawaban sepenuhnya atas ketiadaan usaha untuk membentuk masa depan yang lebih baik, juga dipikulkan atas pundak manusia:

Sesungguhnya Allah tak akan mengubah keadaan seseorang sampai mereka mengubah keadaan diri mereka... (QS Al-Ra'd: 11).

Wujud dari etika ini adalah terbangunnya transaksi yang fair dan bertanggungjawab. Nabi menunjukkan integritas yang tinggi dalam memenuhi segenap klausul kontraknya dengan pihak lain seperti dalam hal pelayanan kepada pembeli, pengiriman barang secara tepat waktu, dan kualitas barang yang dikirim. Di samping itu, beliau pun kerap mengaitkan suatu proses ekonomi dengan pengaruhnya terhadap masyarakat dan lingkungan. Untuk itu, ia melarang diperjualbelikannya produk-produk tertentu (yang dapat merusak masyarakat dan lingkungan).

HIKMAH

Suatu pelajaran yang bisa kita ambil bahwa dalam etika bisnis seseorang harus mencontoh ketauladanan Nabi Muhammad saw bahwa seorang muslim harus mempunyai tauhid yaitu menyerahkan segalanya kepada Allah swt. Karena semua yang ada di dunia ini adalah milik Allah dan harus mematuhi semua aturan yang telah ditentukan olehnya. Seorang muslim harus adil dalam segala hal termasuk dalam bidang ekonomi, kebebasan berkehendak bagi seorang muslim yaitu melakukan apa saja dalam melakukan aktivitas ekonomi selama tidak melanggar yang telah ditentukan oleh Allah saw. Termasuk harus menjaga kehalalan barang atau jasa dalam aktivitas bisnis. Seorang muslim harus tanggungjawab yaitu bertanggungjawab dalam segala hal termasuk dalam bidang ekonomi/bisnis. Begitu juga bertanggung jawab atas kebebasan dalam bisnis.


DISKRIMINASI

DISKRIMINASI

Diskriminasi sudah tidak asing lagi di tiap-tiap negara, termasuk negara kita. Secara tidak sadar kita sebenarnya telah melakukan tindakan tersebut. Misalnya saja untuk orang-orang cacat. Saat ini di Indonesia khususnya sangat-sangat jarang kita temui bahkan tidak ada pekerja yang cacat. Baik ityu cacat fisik maupun cacat mental.

Arti dasar dari diskriminasi itu sendiri adalah membedakan satu objek dari objek yang lainnya, suatu tindakan yang secara moral adalah netral dan tidak dapat disalahkan. Akan tetapi, dalam pengertian modern, istilah ini secara moral tidak netral: karena biasanya mengacu pada tindakan membedakan seseorang dari orang lain bukan berdasarkan keunggulan yang dimiliki, namun berdasarkan prasangka atau berdasarkan sikap-sikap yang secara moral tercela.

Diskriminasi ini dapat dibuktikan dengan 3 perbandingan yaitu : (a) perbandingan atas keuntungan rata-rata yang diberikan institusi pada kelompok yang terdiskriminasi dengan keuntungan rata-rata yang diberikan pada kelompok lain; (b) perbandingan atas proporsi kelompok terdiskriminasi yang terdapat dalam tingkat pekerjaan paling rendah dengan proporsi kelompok lain dalam tingkat yang sama; dan (c) perbandingan proporsi dari anggota kelompok tersebut yang memegang jabatan lebih menguntungkan dengan proporsi kelompok lain dalam jabatan yang sama.

Seluruh para ahli menyatakan bahwa diskriminasi itu adalah salah dan kelompok – kelompok yang menentangnya adalah : (a) argumen utilitarian, yang menyatakan bahwa diskriminasi mengarahkan pada penggunaan sumber daya manusia secara tidak efisien; (b) argumen hak, yang menyatakan bahwa diskriminasi melanggar hak asasi manusia, dan (c) argumen keadilan, menyatakan bahwa diskriminasi mengakibatkan munculnya perbedaan distribusi keuntungan dan beban dalam masyarakat.

Untungnya kegiatan diskriminasi itu dapat distabilkan dengan tindakan afirmatif, yaitu memberikan suatu cara bagi negara kita guna mengatasi diskriminasi gender dan ras agar semua orang memperoleh kesempatan yang sama untuk mengembangkan, melaksanakan, mencapai dan memberikan sumbangan.

Seperti contohnya di perusahaan-perusahaan saat ini lebih memberikan kelonggaran aturan pada pekerja perempuan yang secara alamiah tugasnya adalah mengatur rumah tangga, begitu juga dengan kaum minoritas yang buta akan pengetahuan akibat peninggglan masa lalu diberikan pelatihan-pelatihan oleh pihak perusahaan sebelum menjalani tugas. Akhirnya terjadi keseimbangan tugas antara pria dan perempuan, kaum kulit putih dan kaum kulit non-putih.

Menilai dan menangani tenaga kerja yang beragam adalah lebih dari tindakan yang benar secara etis dan moral. Demografi tenaga kerja untuk dekade selanjutnya menunjukkan dengan jelas bahwa perusahaan-perusahaan yang gagal melaksanakan tugas merekrut, melatih, dan mempromosikan kaum perempuan dan kaum minoritas tidak akan mampu memenuhi kebutuhan akan tenaga kerja.

Kamis, 01 Januari 2009

Analisa Pelempar Sepatu

MUNTAZAR AL-ZAIDI

Dendam....

Mungkin itulah sifat alami yang sedang dirasakan rakyat Baghdad saat Presiden AS,George W.Bush dengan serta merta menghancurkan kota tersebut dan membunuh rakyatnya dengan suka hati, keji bahkan menodai gadis-gadis mereka seperti orang tanpa dosa.

Apa yang dilakukan oleh Muntazar tersebut bila ditelaah secara egoisme memang wajar. Siapapun akan dendam bila melihat musuh dengan bebasnya mengajak kerja sama dengan kota yang telah dihancurkan sebelumnya. Apalagi saat ia mengulang perkataan Perdana Menteri Irak “Terima Kasih”. Pedih rasanya bila mendengar kata-kata tersebut dari musuh. “Terima kasih”, terima kasih untuk kota yang telah suka hati dihancurkan, menzdhalimi dan menyakiti hati rakyat Baghdad.

Namun bila teliti sesuai dengan norma-norma etika. Tindakan pelemparan sepatu itu bukanlah sesuatu yang baik, atau bagus untuk ditiru. Itu hanyalah keegoisan seseorang (walaupun rakyat Baghdad menyanjungnya dengan ungkapan “pahlawan”). Terutama sepatu itu dilempar ke Presiden AS khusus dikenakan ke kepala. Itulah sikap dan perilaku manusia saat ini. Ingin hati berjihad tapi justru membuat suatu sensasi.

Contohnya saja di zaman Nabi Muhammad saw dahulu, kapanpun, dimanapun, dan bagaimanapun Rasulullah dicaci, didzalimi, disiksa tapi tidak pernah melakukan serangan balasan. Justru Rasulullah semakin gencar menyampaikan amanah-amanah –Nya. Sangat berbeda dengan keadaan saat ini.